Penulis: Arsad, S.Pd., M.Hum, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UM Buton (Pegiat Wacana Media).
MonitorSultra.com, BUTON – Di era digital seperti sekarang, media sosial sudah seperti panggung raksasa tempat berbagai cerita viral dan penghakiman oleh banyak orang. Salah satu kisah yang baru-baru ini menarik perhatian publik adalah perjalanan cinta Bojes dan Lia.
“Jujur, saya terganggu dengan ini, masih asik-asiknya kita menikmati komentar para tim sukses yang menunggu hasil putusan MK sengketa pemilu Kepala Daerah, ah, dia lagi, terus lewat di beranda. Tetapi itulah media, terkadang memaksakan suguhannya,” ujar Dosen UMB ini.
“Saya coba melihat-lihat ribuan komentar netizen dalam akun facebook: Firmansyah Bachtiar, kemudian beberapa media juga turut saya amati pemberitaan tragedi romansa ini,” lanjutnya.
Kira-kira begini, penggalannya kesannya, dari pelabuhan Majene hingga ke beranda-beranda netizen, kisah mereka bukan hanya soal cinta, tapi juga tentang bagaimana opini publik terbentuk dan berubah begitu cepat.
Banyak yang merasa terharu melihat perjuangan Bojes untuk mendapatkan cintanya, bahkan sampai rela menghadapi berbagai rintangan demi sang kekasih. Ada yang menganggap ini sebagai kisah cinta sejati yang menginspirasi, penuh dengan ibah dan haru.
Tidak sedikit pula yang merasa senang melihat mereka akhirnya bersatu, seakan menonton drama romantis dalam kehidupan nyata. Tapi di dunia maya, cerita yang menyentuh hati tak luput dari sorotan tajam. Di antara sanjungan dan dukungan, ada juga cibiran dan nyinyiran.
Ada yang menilai Lia tidak pantas diperebutkan, ada pula yang meremehkan perjuangan Bojes dan menyebutnya sekadar cari sensasi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana netizen sering kali berperan sebagai “hakim sosial” yang dengan mudah memberikan penilaian, baik berupa pujian maupun hujatan.
Kasus Bojes dan Lia adalah contoh nyata bagaimana wacana bisa terbentuk, berkembang, bahkan berubah arah dalam hitungan hari. Pertanyaannya, bagaimana kekuatan wacana ini bekerja?
Di dunia maya, cerita yang viral hampir selalu melewati fase dramatisnya sendiri. Kasus Bojes dan Lia pun tidak langsung mendapat sambutan manis dari netizen. Justru, di awal kemunculannya, reaksi yang muncul lebih banyak bernada sinis dan merendahkan. Netizen, dengan kekuatan mereka sebagai “hakim sosial,” langsung membentuk opini: ada yang menyebut Bojes terlalu bucin, ada juga yang skeptis dengan Lia.
Label-label negatif pun bermunculan. Bojes dianggap pria yang “lemah” dan “tidak punya harga diri” hanya karena memperjuangkan cintanya dengan cara yang dianggap berlebihan. Sementara itu, Lia juga tidak lepas dari cibiran. Banyak yang curiga bahwa ia hanya “memanfaatkan” Bojes atau sengaja membiarkan drama ini berlarut-larut demi mendapatkan perhatian publik.
Beberapa komentar bahkan lebih tajam, mempertanyakan ketulusan hubungan mereka dengan bahasa yang meremehkan.
Penggunaan bahasa dalam komentar netizen di tahap awal ini cenderung keras, sarkastik, bahkan menghina. Kata-kata seperti “cinta tolol,” “bucin nggak ada obat,” atau “cari panggung doang” mewarnai diskusi.
Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya netizen membentuk opini negatif dalam waktu singkat, hanya berdasarkan potongan-potongan informasi yang beredar di media sosial. Media sosial itu ibarat gelombang, selalu bergerak, berubah, dan sulit diprediksi.
Jika di awal Bojes dan Lia dicibir habis-habisan, semuanya mulai berbalik saat pernikahan mereka benar-benar terjadi. Momen sakral itu seolah menjadi titik balik yang mengubah cara netizen melihat mereka. Bojes, yang sebelumnya dicap sebagai “bucin nggak ada harga diri,” kini mulai disebut sebagai “pejuang cinta sejati.” Lia, yang awalnya diragukan ketulusannya, mulai mendapat pengakuan sebagai “wanita setia yang memilih bertahan.”
Perubahan ini terlihat jelas di kolom komentar. Dari yang tadinya penuh cemoohan, kini dipenuhi ucapan selamat, doa, bahkan pujian. Netizen yang sebelumnya sinis kini ikut larut dalam romantisme kisah mereka. Ungkapan seperti “salut sama perjuangan Bojes” atau “Lia ternyata nggak seperti yang kita kira” mulai mendominasi. Wacana yang semula negatif perlahan mengalami rebranding oleh netizen sendiri.
Menariknya, perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Netizenlah yang aktif membentuk ulang identitas Bojes dan Lia melalui bahasa yang mereka gunakan. Jika sebelumnya istilah seperti “bucin tolol” mendominasi, kini narasinya berubah menjadi “cinta sejati,” “pasangan yang saling melengkapi,” dan “bukti kalau jodoh itu nggak ke mana.” Bojes dan Lia bukan lagi sosok yang dihina, tetapi justru dijadikan inspirasi.
Media sosial telah menjadi panggung besar di mana wacana lahir, berkembang, dan berubah dalam hitungan hari.
“Dalam kasus Bojes dan Lia, kita bisa melihat bagaimana opini publik yang semula penuh cibiran bisa bergeser menjadi pujian dalam waktu singkat,” tulis Arsad selaku pegiat media sosial, Selasa (18/2/2025).
Perubahan ini bukan terjadi begitu saja, melainkan ada mekanisme yang menggerakkannya, salah satunya adalah algoritma media sosial.
Pakar wacana Norman Fairclough menekankan bahwa diskursus di ruang digital tidak berkembang secara alami, melainkan dikendalikan oleh sistem tertentu yang menentukan wacana mana yang lebih dominan.
Pada akhirnya, media sosial bukan hanya tempat berbagi cerita, tetapi juga arena reproduksi wacana di mana opini bisa terbentuk, berubah, bahkan diperdebatkan dalam skala besar. Algoritma memainkan peran penting dalam mengarahkan arus wacana yang dominan, sementara netizen dengan segala latar belakang dan sudut pandangnya menjadi aktor utama dalam pembentukan opini publik.
Di satu sisi, media sosial bisa mempercepat lahirnya dukungan emosional yang begitu besar, tetapi di sisi lain, ruang ini juga membuka peluang bagi kritik rasional yang mencoba menantang wacana yang sedang berkembang. Kasus Bojes dan Lia hanyalah satu contoh dari bagaimana media sosial bekerja dalam membentuk realitas, di mana yang hari ini dihujat bisa jadi besok dipuja, dan sebaliknya, yang awalnya disanjung bisa berubah menjadi bahan perdebatan semuanya bergantung pada bagaimana wacana dimainkan dan dikendalikan di ruang digital.
Pada akhirnya, kisah Bojes dan Lia menjadi bukti nyata bahwa netizen punya kekuatan besar dalam membentuk dan mengubah makna sebuah peristiwa. Dari yang awalnya dihujat habis-habisan, tiba-tiba berbalik jadi pasangan inspiratif yang dipuji di berbagai platform. Ini bukan sekadar perubahan opini biasa, tapi lebih dari itu sebuah proses rekonstruksi realitas yang terjadi di depan mata kita. Bojes yang dulu dianggap tak pantas, tiba-tiba jadi “pejuang cinta”, sementara Lia yang sempat diragukan justru dipuji sebagai “wanita setia”. Semua ini terjadi bukan karena ada fakta baru yang muncul, tapi karena bagaimana netizen bersama-sama membentuk wacana baru yang lebih bisa diterima secara emosional.
Jadi, pelajaran yang bisa diambil dari kasus Bojes dan Lia ini adalah bahwa netizen bukan sekadar penonton, tapi bisa membentuk realitas baru melalui kekuatan wacana yang dia buat. Setiap komentar, setiap like, setiap share yang diberikan berkontribusi dalam membangun wacana yang ada. Karena terbentunya realitas di media sosial bukan hanya mereka yang viral, tapi kita juga berandil besar dalam membentuk kekuatan wacana itu.(*)